Semalam tadi kamu bertanya tentang kaki langit, bagaimana aku menerangkan bilamana kaki langitku sendiri tak pernah terjamah dalam pikiran mau pun bayangan. Sekian detik aku berhenti berpikir, sekian detik pula aku meluruskan bibir untuk memaksa otak berpikir. Sungguh aku tak tahu seperti apa? Bayangan pun tidak, meski itu sekedar kucuran pencernaan.
Dulu waktu aku masih dewasa berpikir, tidak seperti saat ini yang serasa anak kecil karena perasaanku padamu. Aku bisa mengandaikan bahwa tong sampah itu adalah aku, juga bahkan saat-saat aku bisa menjadi tua dengan menutup biru langit milikmu. Disitu aku bisa duduk.
Duhai perangai yang indah dimataku, jangan bebani aku dengan pertanyaan emas berkarat-berkarat beratnya. Karena hanya bisa aku jadikan sebuah lukisan di dinding tak bisa aku jadikan rumah, kecuali hati emasmu.
GH - 2009
Untuk Saudaraku.
Thursday, December 3, 2009
Kaki Langit
Tags :
Sajak Mencinta
Related : Kaki Langit
Buah bibirDingin mengecup pagiDaun menelurkan embunHati melahirkan bunga Kecantikanmu, buah bibir...Depok, 2010 ...
Malam iniMalam ini Keluar ke jalan disertai keluarnya rembulan Seperti Dejavu Kamu ada berjalan disampingku Merambati perasaan diri Mencoba masuk lebih ke dalam Hingga terper ...
Sudahlah...bunuh saja...Aku pergi menuju jalan ramai untuk menenangkan suasana hatimendatangi gerah yang tidak mau mengalah untuk terus adaterus berjalan mengitari bising yang menyaingi pikiran ...
Mawar bekuMuncul sekuntum mawardari percintaan pikir serta rasatelah aku bekukan dan aku hias sebuah nama dikelopaknya Namun sepertinya tidak akan pernah sampaiDitanganmu..Depok, ...
30 tahundimana kamu saat aku dilahirkan? aku tak tahu 30 tahun berlalu kita bertemu dari coretan dan garis huruf kita berkenalan tanpa malu tentu dengan huruf kedewasaan menun ...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
menjamahmu, puitikamu. aku tiba di sini, kawan. air terjun kian deras.
ReplyDeleteHaduuuuuhhhh
ReplyDeletemengharu biru senduuuu .........
Kerinduan masa kecil adalah milik semua orang, kerinduan akan kepolosan, bermain dan juga kerinduan untuk dimanja, setelah lelah menjadi manusia dewasa.
TUHAN DI ATAS ROTTERDAM
ReplyDeleteHari ini 10 Mei
Aku bagai bergumul mimpi
Berpuing-puing kotaku hancur bak remahan roti
Berpuluh ribu bangkai membisu bak rongsokan yang tak dibutuhkan oleh tuannya lagi
Hari ini 10 Mei
Aku bagai bergumul mimpi
Kudengar jerit tangis mengoyak nurani
Kucium bau amis merebak mewangi
Lalu sayup kudengar rintihan melambai
Rintihan yang tak asing bagi kalbuku
Rintihan yang membuai sukmaku dalam rindu
Aku mengenal suaramu Gisella
Putri nahkoda tua dari Hoek Van Holland
Sehari lalu senyum parasmu menyapaku kala menyisir Nieuwe Waterweg
Sehari kini derita parasmu mengoyak batinku
Perihku Gisella menikmati tubuhmu
Bertelanjang ragamu berbedak darah
Luka-luka bakar keji mengelupas kulit mulusmu
Luftwaffe - luftwaffe bengis telah mengiris - iris kemolekan ragamu
Hanya menyisa keindahan batinmu, Gisella
Keindahan yang gigih tak koyak walau beribu-ribu peluru menembus ragamu.
Dan tersimbol dalam senyummu
Senyum pencela ragamu yang berkabut derita
'Aku lamban Gisella'
Bah Rhein mengalir, sesal mengumpat-umpat sukma
Namun
Dalam sengal napas yang memburu
Lirihmu ;
' Tak apa, ini karma. Beribu-ribu dosa menimbun negara kita. Kini Tuhan sudi menghapusnya '
Tersentak batinku
Ketulusanmu membasuh haru batinku
Berontak bibirku
Menyerapahi insan-insan bangsa kita yang berotak koloni
Kita tergetah laku iblisnya
Kau memandangku, Gisella
Guratan senyum kembali hinggapi parasmu
Lalu kau hadiahkan buat siapa
Buatku, Tuhan, atau Schmidt yang busuk ?
Kau tak mengidahkanku lagi, Gisella
Tubuhmu lelah menatap dunia
Kau tutup mata bukan untuk melepas penat selayak yang lalu
Namun untuk melepas cangkang ruhmu
Sehingga ruhmu dapat bebas menari-nari dalam nirwana
Tak selayak di dunia
Perang memuja kekuasaan selayak harta
Pemuas ratu penumbal rakyat jelata
Tertunduk aku dalam derita
Lirihku ;
' Tuhan tertawakah dzat-Mu kini
Mencela berpuluh-puluh ribu jiwa kami
Terselimuti badai-badai api
Pencabut sukma
Meruntuh harta-harta
Sayap-sayap Luftwaffe nan keji
Meraung-raung di atas kami
Selayak siap memenggal satu-persatu kepala kami
Mengadili raga
Kami terkepung dalam mautmu Tuhan ! '
Desingan peluru termakan telingaku
Mendekat, semakin mendekat
Hingga kurasa perih mencambuk ragaku
Pancoran darah menembus keluar ragaku
Kini berlobang dadaku
Menyisa rintihku ;
' Tuhan maafkan aku
Tuhan maafkan bangsaku
Tuhan lindungilah Rotterdam '
Rebah aku mencium tanahku
Aku mati
Namun Tuhan takkan mati
Tuhan di atas Rotterdam
Kaki langit seperti hanya ada dalam kata...Tak pernah terungkap dalam nyata...Tetapi apakah ia benar-benar ada?...Hanya SANG PEMILIK nya lah yang tahu dimana ia sesungguhnya...
ReplyDeletedipersembahkan untuk siapa mas dexter(sebelumnya muup klu saya pernah menmanggilmu dengan kesongongongan tanpa kata 'mas', karna tak tahu usia.. ^_^) puisimu nan indah itu? siapakah yang membuat perasaanmu menjadi merasa seperti tidak dewasa dari sebelumnya? atau siapa yang membuatmu merasa menjadi tong sampah? entah... ^_^ tapi setiap puisimu itu bagiku dan seluruh reader blogmu adalah lautan makna jiwa yang luas bertutur indah
ReplyDeleteoya sejumput puisi dari saya sekedar bertutur :
kali langit dalam genggaman sang Kuasa
takkan bisa dan tak mudah di temu jawabnya
atas semua yang tersimpan di TanganNya
walau semua berteriak kata sejuta tanya
namun keindahan hati masih dapat diraba
dengan merasakan tautan hati bersama
mudah bagi tiap insan yang mencinta
namun sulit jika diri menyekatnya