Kita adalah Air, Rumah kita Air Terjun.

Thursday, December 3, 2009

Kaki Langit

Semalam tadi kamu bertanya tentang kaki langit, bagaimana aku menerangkan bilamana kaki langitku sendiri tak pernah terjamah dalam pikiran mau pun bayangan. Sekian detik aku berhenti berpikir, sekian detik pula aku meluruskan bibir untuk memaksa otak berpikir. Sungguh aku tak tahu seperti apa? Bayangan pun tidak, meski itu sekedar kucuran pencernaan.

Dulu waktu aku masih dewasa berpikir, tidak seperti saat ini yang serasa anak kecil karena perasaanku padamu. Aku bisa mengandaikan bahwa tong sampah itu adalah aku, juga bahkan saat-saat aku bisa menjadi tua dengan menutup biru langit milikmu. Disitu aku bisa duduk.

Duhai perangai yang indah dimataku, jangan bebani aku dengan pertanyaan emas berkarat-berkarat beratnya. Karena hanya bisa aku jadikan sebuah lukisan di dinding tak bisa aku jadikan rumah, kecuali hati emasmu.

GH - 2009
Untuk Saudaraku.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Kaki Langit

5 comments:

  1. menjamahmu, puitikamu. aku tiba di sini, kawan. air terjun kian deras.

    ReplyDelete
  2. Haduuuuuhhhh
    mengharu biru senduuuu .........
    Kerinduan masa kecil adalah milik semua orang, kerinduan akan kepolosan, bermain dan juga kerinduan untuk dimanja, setelah lelah menjadi manusia dewasa.

    ReplyDelete
  3. TUHAN DI ATAS ROTTERDAM

    Hari ini 10 Mei
    Aku bagai bergumul mimpi
    Berpuing-puing kotaku hancur bak remahan roti
    Berpuluh ribu bangkai membisu bak rongsokan yang tak dibutuhkan oleh tuannya lagi

    Hari ini 10 Mei
    Aku bagai bergumul mimpi
    Kudengar jerit tangis mengoyak nurani
    Kucium bau amis merebak mewangi

    Lalu sayup kudengar rintihan melambai
    Rintihan yang tak asing bagi kalbuku
    Rintihan yang membuai sukmaku dalam rindu

    Aku mengenal suaramu Gisella
    Putri nahkoda tua dari Hoek Van Holland
    Sehari lalu senyum parasmu menyapaku kala menyisir Nieuwe Waterweg
    Sehari kini derita parasmu mengoyak batinku

    Perihku Gisella menikmati tubuhmu
    Bertelanjang ragamu berbedak darah
    Luka-luka bakar keji mengelupas kulit mulusmu
    Luftwaffe - luftwaffe bengis telah mengiris - iris kemolekan ragamu
    Hanya menyisa keindahan batinmu, Gisella
    Keindahan yang gigih tak koyak walau beribu-ribu peluru menembus ragamu.
    Dan tersimbol dalam senyummu
    Senyum pencela ragamu yang berkabut derita

    'Aku lamban Gisella'

    Bah Rhein mengalir, sesal mengumpat-umpat sukma
    Namun
    Dalam sengal napas yang memburu
    Lirihmu ;

    ' Tak apa, ini karma. Beribu-ribu dosa menimbun negara kita. Kini Tuhan sudi menghapusnya '

    Tersentak batinku
    Ketulusanmu membasuh haru batinku
    Berontak bibirku
    Menyerapahi insan-insan bangsa kita yang berotak koloni
    Kita tergetah laku iblisnya

    Kau memandangku, Gisella
    Guratan senyum kembali hinggapi parasmu
    Lalu kau hadiahkan buat siapa
    Buatku, Tuhan, atau Schmidt yang busuk ?

    Kau tak mengidahkanku lagi, Gisella
    Tubuhmu lelah menatap dunia
    Kau tutup mata bukan untuk melepas penat selayak yang lalu
    Namun untuk melepas cangkang ruhmu
    Sehingga ruhmu dapat bebas menari-nari dalam nirwana
    Tak selayak di dunia
    Perang memuja kekuasaan selayak harta
    Pemuas ratu penumbal rakyat jelata

    Tertunduk aku dalam derita
    Lirihku ;

    ' Tuhan tertawakah dzat-Mu kini
    Mencela berpuluh-puluh ribu jiwa kami
    Terselimuti badai-badai api
    Pencabut sukma
    Meruntuh harta-harta

    Sayap-sayap Luftwaffe nan keji
    Meraung-raung di atas kami
    Selayak siap memenggal satu-persatu kepala kami
    Mengadili raga

    Kami terkepung dalam mautmu Tuhan ! '

    Desingan peluru termakan telingaku
    Mendekat, semakin mendekat
    Hingga kurasa perih mencambuk ragaku
    Pancoran darah menembus keluar ragaku
    Kini berlobang dadaku
    Menyisa rintihku ;

    ' Tuhan maafkan aku
    Tuhan maafkan bangsaku
    Tuhan lindungilah Rotterdam '

    Rebah aku mencium tanahku
    Aku mati
    Namun Tuhan takkan mati
    Tuhan di atas Rotterdam

    ReplyDelete
  4. Kaki langit seperti hanya ada dalam kata...Tak pernah terungkap dalam nyata...Tetapi apakah ia benar-benar ada?...Hanya SANG PEMILIK nya lah yang tahu dimana ia sesungguhnya...

    ReplyDelete
  5. dipersembahkan untuk siapa mas dexter(sebelumnya muup klu saya pernah menmanggilmu dengan kesongongongan tanpa kata 'mas', karna tak tahu usia.. ^_^) puisimu nan indah itu? siapakah yang membuat perasaanmu menjadi merasa seperti tidak dewasa dari sebelumnya? atau siapa yang membuatmu merasa menjadi tong sampah? entah... ^_^ tapi setiap puisimu itu bagiku dan seluruh reader blogmu adalah lautan makna jiwa yang luas bertutur indah

    oya sejumput puisi dari saya sekedar bertutur :
    kali langit dalam genggaman sang Kuasa
    takkan bisa dan tak mudah di temu jawabnya
    atas semua yang tersimpan di TanganNya
    walau semua berteriak kata sejuta tanya

    namun keindahan hati masih dapat diraba
    dengan merasakan tautan hati bersama
    mudah bagi tiap insan yang mencinta
    namun sulit jika diri menyekatnya

    ReplyDelete

Aku hanya manusia biasa, beri kata-kata bukan jura..