Kita adalah Air, Rumah kita Air Terjun.

Monday, December 22, 2008

Ayah, Ibu dan Ibu sambungku

Jogjakarta mengingatkan perjalanan,
asongan berempak menjajakan tagihan bulanan,
menegurku untuk membantu,
aku juga tidak lebih baik, saat itu..
Kitaran tikungan pojok benteng wetan-kulon,
menemani hari hariku sebelum menuju gedong kuning,
Iwan, Hendy, Manik, Aming, banyak mangajariku,
Jogjakarta beda kelas dengan Jakarta..

Pertemuanku dengan stephanie memberiku gelora,
memberiku dunia barat, melupakan kiblat,
ditemani lembah, selalu habiskan waktu minggu,
diakhiri percikan parang tritis menutup matahari.
Jogjakarta telah melupakan kepergian ayahku,
memahat sesal terdalam yang pernah ku punya,
Dua hari setelahnya aku dekap nisan baru wangi melati,
gerimis hati kian menyia-nyiakan.

Aku tanya pada kakak-kakakku,
"Bagaimana ayahku?",
"Maaf", adalah ucapan pertama untukku,
Bayangan bibir ayah mengucap membawaku menangis,
Sodoran kitab sedikit menenangkan pertikaian hati,
sempat ku dengar bisikan halus mengajakku salahkan diri,
siraman air menjadi tujuan pertama,
setelahnya aku bersimpuh.

Sekian tahun kini, aku berdiri di Jakarta,
masih terngiang nyanyian Jogjakarta,
namun membawa mataku mengadu nisanmu,
lebih baik aku disini..
Bersama ibu, engkau kembali bertemu,
menikmati surga dan memandangku ke bawah,
selalu sejuk terasa dimana senyummu mengalir,
Ayah, Ibu dan Ibu sambungku, kalian sungguh takdir.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Ayah, Ibu dan Ibu sambungku

2 comments:

  1. Terharu bacanya.....
    Puisi yang ada jiwanya mesti bagus ya...:)
    Tetap semangat Mas!!!

    ReplyDelete
  2. Tanda kasih ke orangtua bisa dituangkan ke puisi ya Ka, puisi yang ini mengobati rasa rindu kepada yg telah tiada (Harina)

    ReplyDelete

Aku hanya manusia biasa, beri kata-kata bukan jura..